Tanah Datar – Tradisi Maanta Syarat ka Guru di Medan Bapaneh Mahakarya Kapalo Koto terus menjadi bagian dari upaya pelestarian budaya di Nagari Gurun, Kecamatan Sungai Tarab. Pimpinan FDB Institut, Febby Dt. Bangso, menegaskan bahwa kegiatan ini sangat diminati oleh anak-anak usia sekolah yang ingin belajar silek harimau dan kesenian tradisional lainnya.
“Alhamdulillah, minat anak-anak terhadap silek dan kesenian tradisional sangat tinggi. Mereka butuh tempat untuk menyalurkan bakat, dan kami mencoba memfasilitasi mereka dengan mengajarkan silek, alua pasambahan, serta kesenian lainnya,” ujar Febby Dt. Bangso.
Menurut Febby, Tanah Datar sebagai Luhak Nan Tuo memiliki tanggung jawab moral dalam menjaga kelestarian adat dan budaya Minangkabau. Ia berharap kegiatan ini dapat menjadi gerakan bersama yang melibatkan masyarakat ranah dan perantauan.
Bupati Eka Putra dalam kesempatan yang sama juga menyoroti pentingnya menjaga tradisi ini agar tetap hidup di tengah arus modernisasi.
“Kegiatan seperti ini menjadi bukti bahwa kita masih memegang teguh nilai-nilai adat dan budaya Minangkabau. Saya sangat mendukung upaya yang dilakukan oleh Pak Datuak Febby dan para guru silek di sini. Harapan saya, ini bisa terus berkembang dan menarik lebih banyak anak-anak untuk belajar silek,” kata Bupati.
Febby Dt. Bangso juga menjelaskan bahwa dalam tradisi lama, tanggung jawab mencarikan guru bagi anak-anak yang ingin belajar silek atau mengaji ada di tangan mamak (paman). Namun, di Medan Bapaneh, sistem tersebut telah disesuaikan dengan kondisi saat ini.
“Kami tidak menuntut semua syarat dipenuhi oleh mamak, tetapi anak yang akan belajar harus diantar oleh mamaknya. Jika tidak, maka kami tidak akan menerimanya. Ini adalah bentuk tanggung jawab keluarga dalam mendidik anak kemenakannya,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia menekankan dampak positif dari latihan silek terhadap perkembangan anak-anak, terutama dalam mengurangi ketergantungan terhadap gawai.
“Setiap sesi latihan, anak-anak menghabiskan sekitar tiga hingga empat jam tanpa memegang handphone. Dalam seminggu mereka berlatih tiga kali, sehingga mereka bisa mengurangi penggunaan gawai hingga 10 sampai 12 jam per minggu. Ini tentu sangat baik untuk perkembangan mereka,” tutupnya.
Dengan adanya dukungan dari pemerintah daerah, tradisi ini diharapkan terus berkembang dan menjadi bagian penting dalam menjaga identitas budaya Minangkabau. (Redaksi)